Sabtu, 03 Januari 2015

REFLEKSI DIANTARA RESOLUSI 1435-1436 H DAN 2014/2015 M

“Wahai segenap kaum Muhajirin, lima perkara yang aku berlindung kepada Allah jangan sampai kalian mengalamainya.
1.       Tidaklah suatu kaum mengerjakan perbuatan keji sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali mereka akan ditimpa dengan berbagai wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang sebelumnya.
2.       Tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan , melainkan mereka akan ditimpa paceklik (kekurangan pangan), tandusnya tanah dan dholimnya penguasa.
3.       Dan tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat hartanya kecuali akan ditahan turun nya hujan dari langit, dan sekiranya bukan karena binatang ternak (yang memerlukan air) mereka tidak akan diberi hujan.
4.       Dan tidaklah suatu kaum mengingkari janji, melainkan Allah akan mendatangkan musuh-musuh dari luar golongan mereka lalu mereka akan merampas sebagian dari harta kekayaan mereka.
5.       Dan selama para pemimpin mereka tidak mengamalkan apa yang Allah turunkan dalam kitabNya, niscaya benturan-benturan kekerasan akan menimpa diantara mereka.
(Hadis Riwayat Ibnu Majah diberitakan oleh Abdullah bin Umar ra.)

RESOLUSI MASYARAKAT ISLAMI

Menggantungkan harapan bukanlah suatu yang salah, bahkan sebuah keharusan bagi setiap manusia. Dengan harapan, keinginan, dan cita-cita akan memberi orientasi hidup seseorang, komunitas bahkan sebuah bangsa untuk bergerak, berinovasi, berkreasi tiada henti agar harapan yang dicanangkan tadi menjadi nyata.

Masalahnya...penggantungan harapan selalu disertai pemenuhan hukum sebab-akibat yang menjadikannya terwujud atau tidak.

Setiap kaum muslimin yang “sehat pemahaman” islam nya pasti akan mendambakan di dunia ini kehidupan yang memberikan peluang kebebasan baginya untuk beribadah kepada Allah tanpa gangguan serta kehidupan dunia yang produktif untuk menunjang aktifitas ibadah tersebut.

Untuk mewujudkan harapan dan cita-cita yang dirindukan umat islam sebagai sebuah entitas diperlukan syarat yang cukup berat. Salah satu aspek yang penting itu adalah hidupnya tatanan masyarakat Islam yang akhirnya mewarnai kehidupan masyarakatnya dengan Islam.

Masalah yang ada sekarang adalah umat tidak memiliki ideal type tentang masyarakat islam yang mereka inginkan. Padahal, ketika masyarakat dambaan itu sudah hadir...maka semua umat pun akan merasakan kesejukan iman di bawah naungannya, dan tantangan merawat keadaan itu agar tidak raib pun bukanlah perkara yang mudah.

Yah, hal apapun yang menjadi resolusi kita di tahun 1436 H dan 2015 M ini, hendaknya adalah resolusi yang bisa menjadikan terbentuknya masyarakat yang islami. Entah resolusi keluarga islami, ekonomi islami, ketahanan pangan dan kesehatan, pengetahuan dan teknologi...semua hal haruslah menunjang visi besar kita. Visi besar dan visi semua umat muslim.

REFLEKSI SEBAB-AKIBAT

Tahun demi tahun itu ibarat potongan masa. Ketika sudah berlalu, maka itu hanya menjadi bagian catatan masa lalu. Maka benar pemeo yang mengatakan bahwa “Waktu adalah sumber daya yang tidak bisa diperbaharui.”

Berbicara refleksi di potongan masa yang kemarin, sejenak scroll kembali mouse atau tuts keyboard anda ke hadits pembuka tulisan ini.  Keseluruhan dari hukum sebab akibat sosial kemasyarakatan yang dikhawatirkan oleh Rosulullah pada hadits tersebut telah dirasakan oleh umat islam di negeri ini.

Marak dan beragamnya penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang sebelumnya menjadi indikator pertama yang pantas kita renungkan dan layangkan mata perhatian kita kesana. Dunia kedokteran terus disibukkan dengan beragam varian penyakit baru yang belum diketahui obatnya. Ini semua akibat dari perbuatan keji yang terang-terangan. Mengapa Rosulullah memakai kata-kata keji? Kenapa bukan diksi “perbuatan buruk”? Ini pun hendaknya juga menjadi renungan bagi kita. Keji itu dimaknai sebagai perbuatan yang secara sosial semua orang menilai itu tindakan bahaya dan merugikan bagi si pelaku ataupun orang lain tapi oleh si pelaku ataupun masyarakat menilai itu biasa saja. Maraknya kasus tewasnya masyarakat menenggak miras oplosan beberapa waktu lalu seharusnya cukup mengingatkan kita. Saya rasa semua agama, semua bangsa sudah tahu bahwa miras itu lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Dan kemanfaatan dari barang berbahaya itu hanya bisa didapat oleh orang yang berakal.

Paceklik, kekurangan pangan, kerusakan lahan pertanian, hutan, ekologi yang rusak akibat eksploitasi penambang ugal-ugalan. Tak cukup di situ, kelangkaan bibit pertanian, pupuk dan obat-obatan pertanian pun telah lama menghantui negara agraris dengan kuota penduduk yang amat besar ini.

Kedaulatan pangan dalam corong bahaya dan sewaktu-waktu bisa jatuh ke dalam keadaan crisis tanpa cadangan pangan yang berarti. Ikhtiar mengimpor kebutuhan sembako setidaknya sebuah indikator poin kedua hadits di atas. Sebuah konsekuensi secara kauniy akibat “kaum yang mengurangi takaran dan timbangan.” Dan keadaan ini semakin miris dengan diserahkannya kedaulatan energi kepada pihak asing setelah sumber-sumber energi tidak terbarukan, gas alam, dan batubara diserahkan eksploitasinya kepada asing. Penyerahan kedaulatan pangan, energi, perdagangan, investasi ini diambil dengan dalih swastanisasi sektor publik. Dengan ikut meratifikasi pendirian WTO (World Trade Organization) melalui UU No. 7 tahun 1994 maka seluruh kesepakatan dibawah WTO mutlak harus diikuti Indonesia. (scroll kembali dan renungkan poin dua yang disampaikan Rosulullah)

Akibat tindakan dholim manusia yang durhaka dari menunaikan hak harta (zakat) pun telah diberitakan Rosulullah akan mendapat hukuman secara kauniy dengan ditahannya hujan. Dan pikirkan! Sekiranya bukan karena kasih sayang Allah kepada hewan ternak di muka bumi, niscaya bumi tak akan dibasahi setetes hujan pun. MasyaAllah..manusia yang dulu berkata “Siap!!” ketika diminta menjadi kholifah di bumi ini justru menumpang “pemenuhan” kebutuhannnya kepada binatang ternak!

Nabi pun memberitakan akibat lanjut dari kaum yang memungkiri janji, sehingga pihak asing intervensi dan merampas kekayaan mereka. Ini adalah tataran kerusakan norma sosial kemasyarakatan. Para pemimpin kita, para politisi yang mengingkari janji mereka untuk menunaikan amanah harta kekayaan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat agar rakyat berkecukupan  dan dengan harta itu agar rakyat dapat melaksanakan perintah Allah justru mereka ingkari. Terungkapnya tindak pidana korupsi di potongan masa kemarin setidaknya menjadi rapor merah. Dan ini terjadi hampir tiap tahun.

Regulasi, perundangan yang dikeluarkan oleh mereka yang mengklaim memikul amanah rakyat tersebut justru menyerahkan dan menjual kepada pihak asing. Akhirnya sumber daya alam dikeruk dan dibawa keluar dalam bentuk bahan menatah untuk menghidupi industri asing, sementara rakyat hanya menjadi kuli saja! (renungkanlah pesan 3 Rosulullah bagaimana Allah datangkan musuh dari luar golongan mereka dan merampas harta kekayaan mereka)

Para pemimpin umat Islam sendiri, yang tidak menerapkan hukum Allah dan syariatNya. Dilema akut, umat yang mayoritas dijauhkan dari pelaksanaan dienNya, setelah sebelumnya mereka semua dijauhkan dari syiar nilai-nilai islam sehingga pemahaman mereka rusak dan dangkal. Akhirnya berkah kehidupan mereka dicabut!

Sebagian kecil umat islam yang komitmen dengan seruan syiar islam yang benar dan konsisten dengan tuntunan syariat Allah mau tidak mau berbenturan dengan umat islam lain yang lebih besar (mereka dijauhkan dari syiar nilai islam yang benar). Dan pahitnya lagi, umat islam yang lebih besar telah dijejali stigma bahwa sekelompok yang kecil tadi adalah kelompok ekstrim dan terkait dengan teroris, naudzubillah.
Jadilah persis dengan apa yang dikhawatirkan Rosulullah bahwa “Sebagian merasakan kekerasan sebagian yang lain.”

SIMPULAN

Harapan untuk hidup nyaman di bawah naungan pelaksanaan hak-hak Allah (pelaksanaan syariat) dan keadilan sistem politik yang benar di bawah sistem yang Islam masihlah harus menjadi resolusi kita bersama di potongan masa kedepannya.

Hukuman qodari akibat meninggalkan aturan syar’i tersebut telah ditetapkan Allah dalam kitabNya. Baik ketetapan yang taufiqi maupun arahan umum untuk berbuat adil dalam segala sesuatu. Semua nyata dalam kehidupan yang memiliki bashiroh ini.

Diselesaikan di Pondok Betung 2 Januari 2015, 10.58 UTC -- mengiringi kepergian 1435 H dan 2014 M


Selamat datang 1436 H dan 2015 M!

Kamis, 01 Agustus 2013

Nikah versus Romadhon



18-24 Romadhon 1434 H
RT 001 RW 003, Desa Seso, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora

Assalamualaikum fii romadhon...
Romadhon adalah bulan renungan, bulan muhasabah. Muhasabah bagi musafir ilallah fiddunya yang insyaallah sedang dalam safar untuk persiapan di pertinggalan abadi akhirot nanti sebagaimana firman Allah yang terabadikan dalam kitabul karim surot Al Baqoroh ayat 4.

“..dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”(TQS.AL BAQOROH[2]: 4)

MANUSIA PENGHAMBA DUNIA
Sudah menjadi firoh manusia tampaknya jika melakukan sesuatu harus ada suatu imbalan, balasan dari apa yang diamalkan atau dikerjakan. Apakah ini salah? Laa..tidak, segala hal di dunia ini halal kecuali ada syariat yang mengharamkannya. Sangat memotivasi jika setiap amal baik kita akan diganjar dengan kehidupan akhirat yang membahagiakan. Apalagi jika ganjaran itu ganjaran terlihat, atau kita melihatnya sebagai ganjaran di dunia, pasti sangat lebih semangat.

Coba kita renungkan, jika setiap kita berangkat sholat berjamaah di masjid atau surau dibayar dengan uang tertentu (sebut saja 10 ribu rupiah saja), percaya deh masjid sebesar Istiqlal di Jakarta pasti penuh sesak setiap hari.hehe

Namun sayangnya tidak...Allah mengganjarkan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih dari uang tersebut. Bagi saya..sungguh merugi orang yang menghendaki pahala dunia saja, karena sungguh dunia ini hanya sementara.

Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (TQS. AN-NISA[4]: 134)

Pada kesempatan kali ini, ana ingin berbagi sedikit sesuatu yang ada dalam pikiran saya, sebuah perenungan..perenungan yang bisa saja salah dan sangat mungkin jauh dari kebenaran, yang pasti kita semua yakin bahwa kebenaran dari manusia itu tiada yang ideal, relatif.
Mungkin sekilas membaca judulnya akan membuat antum tertarik untuk membacanya, semoga menjadi inspirasi.

KEINDAHAN NIKAH vs ROMADHON

Antara nikah dan bulan romadhon..apa sih keterkaitan antara kaduanya, simbiosis seperti apa yang muncul antara keduanya?hehe

Telah kita ketahui bersama..amat spesial sekali bulan romadhon ini. Dari 12 bulan yang ada, hanya satu yang paling mulia diantara 11 bulan yang lain. Sampai-sampai Allah mengabadikan beberapa rekam sejarah penting di bulan ini, kita tengok saja “milad” Quran jatuh pada bulan ini, kemudian Fathul Makkah pun terjadi di bulan ini, Perang Badar dengan kemenangan gemilang pun ada di bulan ini, dan masih banyak lagi rekam sejarah yang sangat menginspirasi kita.

Saking spesialnya pula, setiap amalan sunnah yang kita kerjakan maka Allah ta’ala menghitungnya sebagai ganjaran amalan wajib. Dan setiap amalan wajib diganjar dengan 70 kali pahala amalan wajib di hari-hari biasa. Betapa melimpahnya karunia yang Allah turunkan sampai-sampai Rosulullah menyatakan seandainya kita tahu keutamaan bulan Romadhon ini, niscaya kita menginginkan setahun itu bulan romadhon. (namun sayangnya banyak yang belum tahu ya).

Dan tahukah antum/ na jika kita meninggalkan puasa romadhon? Dalam riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi Rosulullah menyatakan bahwa sesiapa yang tidak berpuasa sehari saja di bulan romadhon bukan karena keringanan yang diberikan Allah, maka puasa yang ditinggalkan tersebut tak dapat digantikan dengan puasa setahun penuh meskipun dia berpuasa setahun penuh. Dan ganjaran lainnya pun tak kecil memang, dosa kita yang lalu diampuni Allah teruntuk orang yang berpuasa, masyaallah.

Kalau menikah? Berhubung saya belum merasakan kebahagiaan sendiri secara langsung ‘’megaproyek’’ mulia ini (hanya kebagian kebahagiaan dari saudara-saudara) jadi akan saya nukilkan firman Allah saja dalam surot Ar-Ruum ayat 21

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(TQS. AR-RUUM[30]: 21)

Ada lafadz “waja‘ala bainakum mawaddah warohmah” bagaimana Allah menghadiahkan dua buah nikmat yang tak tampak dan menjadi kebutuhan pokok emosi dan mental bagi kita yang mengamalkan ibadah nikah. Apa itu? Yaitu rasa kasih sayang yang menimbulkan ketentraman. Dasarnya, manusia mempunyai empat watak. Yaitu watak biologi, watak kejiwaan (psikologi), watak sosial dan watak berpikir yang antara satu sama lain saling berhubungan. Dalam dunia hewan kita hanya menemukan watak biologis dan sosial(kecenderungan berkumpul). Sementara dalam kehidupan manusia hubungan antara watak tersebut sangat kompleks. Dan fitroh kita kan bahwa kita selalu membutuhkan perhatian dan cinta dari orang lain, sehebat-hebatnya Rosulullah pun tetap membutuhkan perhatian Abu Bakar ra dan kasih sayang dari Khadijah ra. Apalagi kita?

NIKAH vs ROMADHON

Saudaraku, ikhwahfillah rahimahullah..
Apa yang menjadi renungan kita, coba antum perhatikan sebelas bulan kita beramal adalah bak sekian rentang waktu untuk mempertahankan dan menyiapkan diri. Menyiapkan diri untuk bisa lebih baik di romadhon selanjutnya serta mempertahankan keistiqomahan amalan mulia setelah kita meninggalkan romadhon sebelumnya. Memang dalam hidup ini tiada akhir sesinya, semua akan selalu mengalami pembaruan. Ketika kita dulu menjadi senior di SMA, ternyata kita menjadi yunior lagi di kampus. Di kampus bak raja, ternyata di dunia kerja harus menjadi baru lagi, hidup ini selalu metamorfosis. Begitupula romadhon dalam hidup kita ini selalu menghendaki perubahan yang baik atas diri kita.

Romadhon yang kita lalui 29 ataupun 30 hari itu sangatlah singkat. Menurut saya, menikmati berkah romadhon itu bukanlah sekedar euforia memenuhi shof masjid ketika malam pertama romadhon. Bukanlah sekedar bahagia dapat berkumpul menghadiri agenda ngabuburit (yang berakhir dengan telat sholat maghrib), dan bukanlah sekedar ngebut nge-khatamin 2-3 kali namun ketika bulan lain sebulan pun ndak lewat dari 5 juz.

Bagi saya, meraup berkah romadhon bukan dengan demikian. Itu adalah terlalu seremonial dan kita akan mudah dijatuhkan setan pada pengamalan di bulan-bulan lainnya.

Sama dengan menikah, menikah itu menyenangkan dan menentramkan serta impian bagi setiap umat muslim. Menikah pun banyak berkah dan pemercepat rizki, menikah akan membentengi nafsu syahwat kita serta membentengi diri dari fitnah lawan jenis. Sama dengan romadhon, menanti waktu tepat untuk menikah pun merupakan suatu tantangan tersendiri yang tak tertahankan, kita pasti sepakat bahwa menahan perasaan dan keinginan untuk diperhatikan adalah amat berat. Bagi yang mengatahui nikmatnya berkah romadhon dan menikah tentu kita akan sangat rindu yang tak tertahan dangan kedua hal ini.

Jika kita bandingkan dan renungkan, menikah pun tak sekedar karena kita memenuhi faktor biologis, sosial, psikologis dan akal. Secara biologis keinginan ini muncul seiring dengan pertumbuhan dan kematangan (baligh) seseorang. Menikah tak sekedar indahnya malam pertama. Namun bagaimana malam-malam selanjutnya yang akan dihadapi pasangan suami istri apakah sanggup mereka menjaga kebahagiaan malam pertama mereka hingga akhir hayat memisahkan? Kita kaitkan dengan romadhon, kita biasanya hanya semangat ketika di awal romadhon. Namun seiring hari ternyata semangat itu memudar, seolah lupa dengan semangatnya di bulan Rojab dan sya’ban dulu yang katanya “Recharging our iman with romadhon”. Begitulah berumahtangga bukan bagaimana menyiapkan kemewahan pesta pernikahan atupun bagaiman menikmati indahnya malam pertama. Namun bagaimana kita menyiapkan mental dan akal kita untuk tetap bahagia di masa-masa mendatang.
Secara sosial menikah adalah karena keinginan untuk membentuk keluarga dan menyatukan keluarga.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(TQS AL HUJUROT[49]: 13)

Yah, ketika romadhon sepuluh hari pertama masjid dan surau kita begitu sesak dengan jamaah. Bahkan berjubel ada yang pasang tenda di luar masjid untuk menampung “jamaah tahunan” tersebut. Namun seiring waktu hingga hari kelimabelas, tenda mulai sepi. Jamaah mengalami “kemajuan”, kemajuan shof solatnya tapi.

Sama, menikah pun demikian. Bukan menyoal bagaimana kita bersikap manis kepada Bapak Ibu mertua sewaktu khitbah saja, bukan hanya bagaimana keceriaan kedua keluarga besar mempelai bersatu dalam kebahagiaan ketika walimatul ursy. Justru tantangannya adalah seperti jamaah tarowih tadi (menjaga semangat jamaah agar senantiasa menjaga izzah semangatnya hingga romadhon berakhir), yaitu bagaimana kita tetap berlaku sopan dan sayang dengan orangtua istri/ suami kita. Bagaimana kita menjaga kehormatan dan selalu berpikir positis dalam menjalani persaudaraan dengan kerabat istri kita (mushoharoh).

Jika kita meyiapkan diri menyambut romadhon dua bulan sebelumnya (rojab dan sya’ban) maka menikahpun juga perlu persiapan jau-jauh dekade sebelumnya (belajar dan bekerja). Pernahkah kita berpikir, kenapa ketika kita berpuasa keinginan diri untuk makan ini-itu begitu besar (hingga semua dibeli) namun ketika waktu berbuka sudah tiba, tak satupun santapan itu tadi ingin kita santap. Rasa itu serasa hilang. Begitulah, ketika kita belum menikah bayangan enak dan bahagia hanya di angan. Nafsu terasa begitu menggebu. Namun ketika sudah menikah, tiba-tiba rasa itu hilang. Hal seperti ini jika tidak disertai ruhani yang kuat maka perceraian tak kan dielakkan.

Inilah tantangannya, dari sisi akal menikah adalah karena keinginan untuk melengkapi diri dengan sesuatu yang baik dan membentuk generasi yang berkualitas. Memilih seseorang untuk menjadi teman hidup yang seumur hidup haruslah penuh kebijaksanaan. Karena istri/ suami bukanlah baju yang jika kita pakai tidak sesuai dan tidak pas lantas kita buang ganti yang baru. Dia adalah makhluk, yang punya perasaan dan akal. Dia nanti yang akan menjadi imam atau menjadi ibu bagi anak-anak kita.

Generasi yang berkualitas lahir dan diasuh oleh generasi yang berkualitas pula. Imam Ali ra. Memperingatkan, “Janganlah kalian menyusukan anak kalian kepada perempuan idiot dan rabun. Sesungguhnya susu itu akan menular padanya.” Bagaimana “bibit dan ladang” yang baik sangat berpengaruh terhadap hasil panen nanti. Tentu antum/ na menghendaki hasil panen yang subur dan melimpah bukan?

MELAHIRKAN GENERASI MUSLIM PLATINUM

Menghargai Kecantikan
“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka dapatkan wanita karena agamanya engkau akan beruntung.” (HR. Bukhori-Muslim)

Kecantikan adalah tuntutan syar’i. Dan menjaganya adalah kewajiban. Kita juga telah diingatkan bahwa kita diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk dan Allah adalah Dzat yang indah dan menyukai keindahan. Kecantikan yang wajib kita jaga ini adalah kecantikan dalam dan luar. Kepribadian baik akan mempercantik inner beauty seseorang, sedangkan kecantikan luar adalah relatif (kasat mata) dan bagi saya, kecantikan sejati adalah kecantikan yang menggabungkan keduanya.

Dari hadis diatas bahkan menurut Ibnu Hajar al-Asqolani menyimpulkan bahwa menikahi wanita yang cantik adalah sebuah kesunnahan. Hal ini diperkuat yaitu Rosulullah mengijinkan kita melihat wanita yang dikhitbah untuk menyempurnakan kecintaannya.

“Sebaik-baik wanita adalah jika engkau memandangnya maka ia akan membuatmu senang, jika kau perintah ia menaatimu.”(HR. Abu Dawud)

Saat ini kita melihat orang memandang hanya pada sebatas fisik saja, tanpa mengetahui kandungan nikmat di dalamnya, sehingga ketika kecantikan itu pudar hilanglah rasa sayang itu. Buta mata hati kita karena tak dapat menikmati dan melihat kecantikan hati.

Subur Keturunan
Regenerasi keturunan(estafeta khilafah) merupakan salah satu dari faktor tujuan hidup. Tujuan dari melahirkan keturunan adalah untuk menambah kuatnya keterikatan suami istri. Perhatian akan semakin uat dengan hadirnya anak.

“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang.” (HR. Abu Dawud)

Kenapa Rosulullah menganjurkan yang subur? Karena Rosul bangga dengan kita yang punya banyak keturunan..tapi..tidak sekedar banyak..namun juga berkualitas. Sifat penyayang istri adalah aspek penting untuk mentarbiyah(mendidik) putra putri kita nanti.

Mushoharoh dan Nasab
Sebuah keluarga yang memiliki derajat rendah bisa naik sebab pernikahan, yang lemah pun bisa menjadi kuat melalui persekutuan keluarga yang tentunya lahir dari pernikahan. 

Di daerah kesukuan atau pedesaan, kedudukan nasab sangat berarti sekali karena akan membawa pengaruh dalam strata bahkan politik. Namun untuk wilayah kota, hal seperti ini tidakbegitu berpengaruh.

Dalam islam, maksud utama dianjurkan memilih istri yang diketahui nasabnya adalah agar seseorang menikahi gadis yang murni dan memiliki akhlak yang baik (karena gadis yang baik nasabnya insyaallah akan berpegang teguh pada nilai-nilai dan adat. Seperti pesan Umar ra. :

“Ketahuilah nasab kalian maka kalian akan mengetahui asal-usul kalian, sehingga kalian menyambung kerabat kalian.”

Hubungan nasab dan mushoharoh menurut saya bukan hanya menyoal klaim keluarga baik saja, namun juga termasuk menyoal masalah sosial dan ekonomi. Lihatlah di dunia Barat, pasangan suami istri yang mengabaikan persetujuan keluarga mereka niscaya dapat menyebabkan pernikahan keduanya berada dalam terpaan angin kuat saat menghadapi gonjang-ganjing ekonomi atau problema keluarga. Tentu sangat jauh berbeda dengan kondisi pernikahan yang di dalamnya terdapat kebersamaan sosial. Kebersamaan yang akan melanggengkan pernikahan secara maknawi dan materi karena adanya penanggungan masalah secara bersama.

Kecukupan Harta
Dalam pernikahan, harta bukanlah sebuah tolak ukur kebahagian. Justru kelayakan (kafaah) dari kedua pasangan-lah serta karakter keduanya yang merupakan sebuah modal primer keluarga baru tersebut. Namun tidak munafik memang, persoalan harta sering menjadi faktor perhatian kedua belah pihak mempelai dan keluarga dengan alasan sulitnya ekonomi di masa sekarang apalagi di Indonesia. Sehingga hal ini membuat pemuda-pemudi urung menunda menikah karena alasan ekonomi. Padahal kecukupan harta ini adalah wewenang Allah asal kita bertawakkal kepada-Nya.

Kecukupan harta tidaklah harus diartikan dengan berharta melimpah. Makna kekayaan pun masih absurd maknanya (relatif), menurut saya kecukupan harta diartikan sebagai kebahagiaan karena dapat tercukupi kebutuhan rumah tangganya ketika diperlukan. Sederhana, namun ketika ingin rumah uangnya cukup untuk beli rumah. Ketika menginginkan kendaraan, alhamdulillah cukup untuk membeli motor. Inilah buah ketawakkalan kepada Allah.
Kebaikan Budi Pekerti dan Pengetahuan Agama
Bagi saya, dua hal ini sangat primer dan paling penting daripada yang saya sebutkan di atas. Karena dengan keduanya, seseorang akan mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus. Siapa yang tidak mau coba?

Wasiat Rosulullah bahwa Agama adalah interaksi yang baik dengan Allah SWT (hablumminallah) sedangkan pekerti adalah interaksi yang baik dengan manusia (hablumminannaas). Jadi menimbang seseorang dari dua faktor ini sangat penting. Ingat..ini orang yang akan mendampingi kita seumur hidup loo..bukan sehari dua hari atau sekian tahun seperti orang tua kita.

Dan bagi orangtua, Rosulullah juga telah menasihati agar menikahkan dengan orang yang dicintai putra-putrinya meskipun seorang fakir.

Kesimpulan
Merenungkan dua hal yaitu pernikahan dan bulan ramadhan selalu pada hal yang ironi karena kelemahan iman dan salah dalam memandang. Kita memandang Ramadhan penuh berkah namun keimanan kita masih malas untuk menggapainya. Kita Melihat menikah itu sebuah kebahagiaan, namun ilmu, pekerti serta agama yang lemah menjadi penghancur angan itu ketika kita telah berumah tangga. Yang menjadi keharusan bagi kita adalah perbaikan dan persiapan yang baik. Keinginan kuat didukung dengan keimanan yang mantap tak kan menghalangi seseorang untuk dapat menggapai keberkahan dua hal tersebut.

Allah mengatur hubungan antara pasangan suami istri atas dasar yang kokoh, disertai janji kuat dan cinta yang mendalam yang akan melahirkan hak dan kewajiban bersama. Allah menganugerahkan perasaan dan kecenderungan seakan ia adalah belahan jiwa satu sama lain. Tiada kebahagiaan selain berjumpa sang pujaan bukan? Karena dengan itu akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan jiwa yang merupakan tanda kesempurnaan manusia.

Dan perlu diingat kita semua, kesuksesan pernikahan tidak hanya dilihat dari dimensi prinsip saja. Faktor materi dan ruhiyah secara bersama sehingga keberhasilan itu berpengaruh terhadap keturunan dan keluarga. Tulisan ini saya buat karena melihat banyak para pemuda yang meniatkan menikah karena sekedar tertarik akan kecantikan atau harta dan diperparah dengan tanpa ada kesiapan mental, keimanan dan psikologi yang siap.

Saya doakan semoga yang membaca tulisan saya ini diberkahi Allah ta’ala
Dibukakan pintu rizki nya dengan menikah...
Didekatkan dengan jodoh yang terbaik dan sesuai kapasitasnya...
Dikarunia keturunan penjaga Agama Allah ini dan penjaga Quran...
Serta tergabung dengan keluarga yang penuh cinta kasih...

Refrensi Tambahan:
1. Al Quranul Karim
2. Get Samara with Nikah-Muhammad Nabil Kadzim
* Mohon maaf bila ada kesalahan dalam sikap keseharian penulis yang masih Saudara jumpai, mari saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebaikan.^^

@teguhleader

*artikel karya saya ini dapat anda lihat pula di akun facebook saya: Teguh Setyawan (Al Kazim)
"TeguhRevolutioner", semangat be-revolusi untuk lebih baik dan peduli.



Minggu, 14 Juli 2013

MEMANDANG DENGAN IKHLAS, BERAMAL DENGAN TULUS

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridho (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Ramadhan Mubarokallah J
Di bulan yang mulia ini marilah kita sama-sama evaluasi diri kita agar jauh dari hasud dan prasangka terhadap diri kita dan orang lain.

Ada sebuah kisah seorang sahabat saya, beliau teramat baik dan sempurna di mata saya. Bahkan merupakan inspirasi saya. Di berbagai kegiatan organisasi aktif, keilmuan agama mumpuni. Ilmu dunia? Apalagi, sangat hebat dan berkompeten. Seiring waktu semakin banyak yang kagum dan menaruh hormat pada beliau. Hingga suatu ketika beliau menyampaikan kepada saya selaku sahabat dekat, bahwa ternyata banyak orang di luar sana yang tidak menyukainya dan menghasud bahwa beliau orang yang suka pamer dan egois serta sombong. Naudzubillah...dalam nurani saya, bagaimana bisa sosok karakter seperti beliau membuat orang iri. Dalam pikiran saya pasti terjadi sesuatu hal..saya hanya menganjurkan beliau untuk tetap istiqomah beramal dan senantiasa ikhlas, bersabar serta berlapang dada memafkan.

KEIKHLASAN YANG MEMUDAR DALAM DIRI UMAT
Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (TQS. Al-Hajj: 46).

Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

Pengobatan hati haruslah menjadi prioritas karena hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

Kenapa Ikhlas? Karena perbuatan yang ikhlas adalah perbuatan yang tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupuan imbalan duniawi dari apa yang dapaat dia lakukan. Konsentrasi orang ikhlas hanya satu, yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah. Coba kita renungkan, jika hati terbiasa ikhlas dan pikiran selalu positif (husnudhon) maka kejadian seperti di atas insyaallah tak kan terjadi. Kita akan tulus dalam mengamalkan amalan (ibadah) serta ikhlas melihat kebaikan dan kemuliaan dalam diri saudara kita, bukan justru riya’ dan iri.

MAKNA IKHLAS
Apakah ikhlas itu? Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal. Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan duniawi dari apa yang dapat ia lakukan. Konsentrasi orang yang ikhlas cuma satu, yaitu bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Jadi ketika sedang memasukan uang ke dalam kotak infaq, maka fokus pikiran kita tidak ke kiri dan ke kanan, tapi pikiran kita terfokus bagaimana agar uang yang dinafkahkan itu diterima di sisi Allah.

Ikhlas, terletak pada niat hati. Luar biasa sekali pentingnya niat ini, karena niat adalah pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam hatinya, siap-siaplah untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, indah, dan jauh lebih bermakna.

Apapun yang dilakukan kalau konsentrasi kita hanya kepada Allah, itulah ikhlas. Seperti yang dikatakan Imam Ali bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh Allah. Seorang pembicara yang tulus tidak perlu merekayasa kata-kata agar penuh pesona, tapi ia akan mengupayakan setiap kata yang diucapkan benar-benar menjadi kata yang disukai oleh Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bisa dipertanggungjawabkan artinya. Selebihnya terserah Allah. Kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita, Allah-lah yang kuasa menghujamkannya kepada setiap qalbu.

Oleh karena itu, jangan terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah sama sekali tidak membutuhkan rekayasa apapun dari manusia. Allah Mahatahu segala lintasan hati, Mahatahu segalanya! Makin bening, makin bersih, semuanya semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah yang akan menolong segalanya.

BAHAYA TIDAK IKHLAS BERAMAL
Buah apa yang didapat dari seorang hamba yang ikhlas itu? Seorang hamba yang ikhlas akan merasakan ketentraman jiwa, ketenangan batin. Betapa tidak? Karena ia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan, dan imbalan. Kita tahu bahwa penantian adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Begitu pula menunggu diberi pujian, juga menjadi sesuatu yang tidak nyaman. Lebih getir lagi kalau yang kita lakukan ternyata tidak dipuji, pasti kita akan kecewa.

Tapi bagi seorang hamba yang ikhlas, ia tidak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun, karena kenikmatan baginya bukan dari mendapatkan, tapi dari apa yang bisa dipersembahkan. Jadi kalau saudara mengepel lantai dan di dalam hati mengharap pujian, tidak usah heran jikalau nanti yang datang justru malah cibiran.

Tidak usah heran pula kalau kita tidak ikhlas akan banyak kecewa dalam hidup ini. Orang yang tidak ikhlas akan banyak tersinggung dan terkecewakan karena ia memang terlalu banyak berharap. Karenanya biasakanlah kalau sudah berbuat sesuatu, kita lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di sisi Allah yang pasti aman. Jangan pula disebut-sebut, diingat-ingat, nanti malah berkurang pahalanya.

Lalu, dimanakah letak kekuatan hamba-hamba Allah yang ikhlas? Seorang hamba yang ikhlas akan memiliki kekuatan ruhiyah yang besar. Ia seakan-akan menjadi pancaran energi yang melimpah. Keikhlasan seorang hamba Allah dapat dilihat pula dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik perilakunya. Kita akan merasa aman bergaul dengan orang yang ikhlas. Kita tidak curiga akan ditipu, kita tidak curiga akan dikecoh olehnya. Dia benar-benar bening dari berbuat rekayasa. Setiap tumpahan kata-kata dan perilakunya tidak ada yang tersembunyi. Semua itu ia lakukan tanpa mengharap apapun dari orang yang dihadapinya, yang ia harapakan hanyalah memberikan yang terbaik untuk siapapun.

Sungguh akan nikmat bila bergaul dengan seorang hamba yang ikhlas. Setiap kata-katanya tidak akan bagai pisau yang akan mengiris hati. Perilakunya pun tidak akan menyudutkan dan menyempitkan diri. Tidak usah heran jikalau orang ikhlas itu punya daya gugah dan daya ubah yang begitu dahsyat.

MEMBINA PRIBADI YANG IKHLAS
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau mengenakan selendang dari Najran yang kasar pinggirnya. Tiba-tiba seorang badui berpapasan dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat. Ketika aku memandang ke sisi leher Rasulullah saw. ternyata pinggiran selendang telah membekas di sana, karena kuatnya tarikan. Orang itu kemudian berkata: Hai Muhammad, berikan aku sebagian dari harta Allah yang ada padamu. Rasulullah saw. berpaling kepadanya, lalu tertawa dan memberikan suatu pemberian kepadanya. (HR Muslim)

Subhanallah, Rasulullah saw. malah memberikan harta (berinfak), padahal orang badui itu memintanya dengan kasar. Tapi itulah Rasulullah saw. sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa beramal baik harus ikhlas dan tanpa pertimbangan untung-rugi lagi.

Demikian mulia nya Rosulullah menjadi uswah bagi kita, beliau teramat ikhlas dalam melihat orang lain dan tulus dalam beramal. Coba kita renungkan beliau teramat tulus sekali memberikan senyum kepada orang badui tersebut, bahkan memberikan suatu pemberian kepada badui tersebut sebagaimana yang ia minta. Dan lihatlah bagaimana keikhlasan beliau dalam bersabar dan menerima keadaan badui tersebut, beliau pasti berpikir bahwa badui ini orang yang belum tahu jadi tak pantas kita marah kepadanya (walaupun beliau berhak membalas atau marah). Namun dapat kita lihat keikhlasan beliau melihat orang lain dari kaca mata positif melahirkan ketulusan senyum dan pemberian.

Kembali kepada kisah sahabat saya tadi, saya selalu berpositif sangka bahwa apapun yang beliau lakukan adalah tulus lillahi ta’ala. Tak mengharapkan pujian ataupun tersirat dalam hatinya untuk ingin mendominasi. Dan yang harus menjadi muhasabbah bagi beliau adalah agar lebih tulus dalam beramal. Karena beramal di hadapan orang banyak akan rawan meruntuhkan ketulusan kita serta rawan untuk menumbuhkan rasa iri dalam dada orang yang melihatnya. Namun saya juga akan berusaha berpositif sangka bahwa orang yang mengklaim beliau sombong dan egois serta suka pamer mungkin belum mengenal pribadi beliau yang sebenarnya sehingga timbul asumsi dalam hati dari mata, mungkin mereka belum hati-hati bahwa sangkaan itu dari setan. Dan diperlukan sikap ikhlas seperti yang diteladankan Rosulullah tadi dalam melihat segala kelebihan dan kekurangan seseorang.

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad. Dan tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yang ikhlas. karena betapapun kita melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah. Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengumandangkan adzan setiap waktu shalat, tapi selama adzan bukan Allah yang dituju, hanya sekedar ingin memamerkan keindahan suara supaya menjadi juara adzan atau menggetarkan hati seseorang, maka itu hanya teriakan-teriakan yang tidak bernilai di hadapan Allah, tidak bernilai!

Nah, sahabat revolutioner. Orang yang ikhlas adalah orang yang punya kekuatan, ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan ataupun iri terhadap kemuliaan orang lain. Allaahu Akbar. Wallahu’alam.


*Refrensi tambahan:

* Mohon maaf bila ada kesalahan dalam sikap keseharian penulis yang masih Saudara jumpai, mari saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebaikan.^^

@teguhleader
*artikel karya saya ini dapat anda lihat pula di website: http://www.teguh-be-leader.blogspot.com
"TeguhRevolutioner", semangat be-revolusi untuk lebih baik dan peduli.


Minggu, 30 Juni 2013

Berdamai Dalam Amarah

Nabi bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah hendaklah dia diam.” (H.R Imam Ahmad)

Dear Sobat Revolutioner yang baik & sabar hatinya...
Sedang dalam keadaan yang hati terasa sesak dan dongkol?

Dalam hidup memang wajar kalau ada peristiwa-peristiwa yang membuat kita marah dan kecewa. Tapi cepat kendalikan emosi Anda kembali. Jangan biarkan rasa amarah, dendam, iri, kesal atau kecewa kepada teman, pasangan, rekan kerja, atau atasan di kantor bercokol lama di hati kita.

Susah?
Kenali-lah amarah kita...

Mengenal Amarah Kita

Mengapa kita perlu mengenali perasaan marah? Pentingkah? Karena beragamnya perasaan yang hinggap dalam setiap sesi hidup kita, hati kita memang seperti udara..teramat dinamis (sampai-sampai susah banget mempelajari mata kuliah Meteorologi Dinamis, :D)

Kita sering bingung dengan apa yang sebetulnya kita rasakan. Apakah sedih, terluka, kesal, tersinggung, merasa terdzalimi, dan lainnya. Kemampuan mengenali “saya sedang marah” menjadi bekal yang sangat penting jika kita ingin berdamai dengan amarah.

Saat merasakan ketidak adilan, menerima perlakuan yang menyinggung, atau tindak agresi dari pihak lain sangatlah wajar jika dalam dirinya muncul emosi marah. Dengan marah, ada energi yang menodong kita untuk mengubah keadaan dan membela diri.

Secara definisi, Marah merupakan kekuatan setan yang disimpan oleh Allah Ta’ala di dalam diri manusia. Al Ghazali mengatakan adanya marah didalam diri manusia untuk menjaga dari kerusakan dan untuk menolak kehancuran. (Najar, 2001 )

Al-Jurjani (2001) menjelaskan marah adalah perbuatan yang terjadi pada waktu mendidihnya darah di dalam hati untuk memperoleh kepuasan apa yang terdapat di dalam dada. Sedangkan Imam Nawawi mendefinisikan marah dari perspektif ilmu tassawuf, sebagai tekanan nafsu dari hati yang mengalirkan darah pada bagian wajah yang menimbulkan kebencian pada diri seseorang.

Pemicu Amarah

Setelah mengenal amarah dalam diri kita, lalu kenali apa yang membuat kita marah. Umumnya orang marah karena memiliki persepsi tentang sesuatu yang tidak sesuai dan tidak adil bagi dirinya, orang lain, atau sesuatu yang ia peduli terhadapnya. Ia terluka karena kondisi tersebut dan ingin melakukan sesuatu sebagai kompensasi dari perasaan itu. Hal ini yang kerap mendorong orang untuk berlaku buruk (merugikan).

Sebenarya, apabila kita kesal kepada pasangan atau kawan yang mengingkari janji, lalu  kita menyalahkan mereka atas kekacauan semua itu, maka kita akan mendapatkan kembali keadaan yang dipersalahkan itu. Kekesalan, amarah dan kekecewaan hanya akan mengaktifkan hukum tarik menarik, membuat kita menerima apa yang kita berikan..percayalah. Kembalinya keadaan itu tidak harus selalu dari orang yang kita salahkan, tetapi sejatinya kita akan mendapatkan kembali keadaan yang kita salahkan itu. Ibaratkan ujian Allah....kita remedial dengan hasil ujian itu.

Jangan rugikan waktu-waktu kita hanya berkutat dalam tantangan kehidupan yang sama. Ikhlaskanlah, maafkanlah. Hati akan terasa lebih lega dan ringan dalam menjalani hidup, lebih fokus terhadap tujuan hidup tanpa terbebani penyakit-penyakit hati yang hanya akan menghabiskan energi positif.

Melatih kesabaran diri mengendalikan emosi amarah terkadang membutuhkan pula kesabaran waktu yang cukup panjang. Tidak cukup dengan satu atau dua kali ujian. Diperlukan latihan yang terus menerus dan berkelanjutan. Meski demikian bagi mereka yang memiliki kebijaksanaan hati, tidak akan mengeluh karena panjangnya waktu yang harus dilalui. Dia juga tidak merasa bosan karena cobaan yang datang tindih-bertindih. Kesabaran seperti itu pula yang harus ada pada setiap orang yang ingin menjadi pemenang dalam kehidupan ini.

Mengontrol Amarah

                Untuk mengetahui seberapa bisa kita mengendalikan emosi, cermati hal berikut. Saat kamu mengalami sebuah kondisi yang memancing kemarahan, berapa lama kamu bisa meredakan perasaan itu? Dan sejauh mana efek kejadian itu terhadap kehidupan mu? Apakah aktifitas mu terganggu karena hal itu? Jika jawab nya tidak, apalagi hanya butuh waktu sebentar untuk meredakan kemarahan, berarti kamu termasuk sosok yang cerdas emosi.

Tidak mudah untuk menahan amarah, apalagi kalau menemui hal-hal yang pantas mengundang emosi amarah seseorang. Memang fitroh dan dapat dimengerti apabila seseorang mengalami kekesalan, kecemasan, sakit hati yang dipicu oleh hal-hal yang mengundang emosi ini. Tetapi sangat tidak dibenarkan mengekpresikan rasa marah dengan cara agresif dan merugikan orang lain. Diperlukan kesabaran hati agar mampu mengontrol diri untuk tidak melampiaskan emosi kemarahan dengan membabi buta.

Melatih kesabaran hati sangat berhubungan erat dengan suasana hati seseorang. Menurut Richard Wenzlaff, ahli psikologi dari University of Texas, mengalihkan suasana hati agar menjadi positif dapat dilakukan dengan melakukan selingan yang positif seperti menonton peristiwa olahraga yang dinanti-nanti, film komedi atau dengan membaca buku-buku bacaan ringan.

Melatih kesabaran hati selain menyangkut dimensi emosional seseorang, juga sangat berhubungan dengan dimensi spiritual seseorang. Manusia yang memiliki orientasi pada nilai-nilai spiritualiasme yang bersumber dari hati nurani ketika terjadi rangsangan-rangsangan pada emosinya, emosinya akan tetap tenang dan terkendali. Karena aspek mentalnya telah diperkuat oleh nilai-nilai spiritualnya dan dimensi spiritual akan menjadi pembimbing untuk bereaksi normal terhadap rangsangan emosi yang datang.

Melatih kesabaran hati terus menerus sangat penting dalam pengendalian emosi. Kesabaran hati dalam pengertian mampu menerima keadaan, memahami situasi dan dapat mengendalikan emosi dan amarah sehingga tidak sampai bertingkah aneh dan melampuai batas.

Kesabaran hati adalah akar dari rahasia kebijaksanaan hidup. Kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai persoalan, betapa pun beratnya dan tetap selalu menebarkan cinta dan kasih sayang.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Berdamai dengan diri sendiri adalah cara bijaksana dalam mengendalikan emosi amarah. Setiap orang yang mencintai dirinya sendiri, pada akhirnya akan memaafkan kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Jadi maksud dari berdamai dengan diri sendiri adalah mampu mencintai diri sendiri dan memenuhi hati dengan cinta dan kasih sayang.

Berdamai dengan diri sendiri dapat juga dimaknakan memahami setiap keadaan yang datang, tidak menyalahkan orang lain, dapat menerima sesuatu yang menimpa diri kita dengan lapang. Karena hidup tidak jarang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang membuat emosi tergerak seperti frustrasi, depresi, rasa sakit hati, bersedih, bahagia dan hal-hal yang tidak dapat diramalkan. Kalau kita mampu berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diri sendiri, maka hati akan menjadi lebih lapang. Memiliki hati yang lapang menjadikan kesabaran dan kemampuan mengendalikan emosi kemarahan.

Berdamai diri sulit?

Bagaimanapun juga ada kala tembok kesabaran kita memang jatuh, dan saya rasa hal ini pun fitrah. Seorang Rasulullah saja pernah tidak sengaja acuh dengan Abdullah bin Ummi Maktum (seorang buta) kemudian diabadikan dalam Q.S. Abasa.

Yah, mungkin kita tidak dapat mengontrol setiap kejadian yang datang, tetapi bagaimanapun juga kita tetap dapat “memaksa” diri kita dengan melakukan hal lain. Kita dapat mengontrol bagaimana kejadian-kejadian tersebut dapat mempengaruhi kita. Menyuburkan benih-benih cinta, berbagi cinta dengan sesama, meningkatkan kesabaran dalam hati, mudah memaafkan, membalas dengan kebaikan dan mampu berdamai dengan diri sendiri merupakan sarana mengendalikan emosi. Emosi yang terkendali menjauhkan diri dari tindakan agresif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Tumbuhkan Karakter SIQ

"Jika saya mengikhlaskan diri saya, saya menjadi yang saya inginkan. Jika saya mengikhlaskan yang saya punya, saya akan menerima apa yang saya butuhkan" -Tao Te Ching-

Saya lebih suka menyebutkan karakter SIQ sebagai solusi yang mendasar dan ampuh. SIQ adalah mental Spiritual, Ikhlas dan Qona’ah.

Spiritual sebagai aspek pengingat kita akan hakikat Allah. Bahwa sombong adalah selendang milik Allah yang tak boleh makhluk satu pun yang menyandangnya. Hanya Dia.

Ikhlas sebagai aspek yang akan mengingatkan diri kita kepada sesama. Ikhlaskan diri untuk mendamaikan keadaan. Mundur satu langkah bukanlah hal yang salah jika untuk mendapatkan jarak lompatan yang lebih jauh. J

Qona’ah sebagai aspek penerimaan kepada diri kita. Menerima dengan tenang akan turut menenangkan hati kita

Inilah aspek-aspek penting yang ada dalam diri manusia, yang ikut menjadikan mereka mampu menumbuhkan energi spiritual dalam menghadapi kehidupan. Mereka mampu mempengaruhi orang lain, dan akhirnya membuat orang lain menghargai kepribadian mereka. Karakter perilaku seperti inilah kalau terus dilakukan menjadi kebiasaan dapat melahirkan perilaku yang bijaksana. Perilaku yang meninggikan kemuliaan hidup kita dihadapan orang lain dan dihadapan Tuhan, serta menjadikan kehidupan penuh potensi dan keagungan.


Semoga Allah mengaruniai sabar yang tak terbatas dan ikhlas yang tak bertepi untuk kita semua, sehingga apapun rintangan dan cobaan yang dilalui akan terasa lebih ringan. Aamiin :-)
*Terkadang saya malu untuk menyampaikan risalah-risalah ini semua karena diri saya yang masih banyak kurang, salah dan belum bisa sempurna melaksanakan kebaikan.Namun bagi saya itu tak menjadi halangan untuk saling menginspirasi. Karena Rasul mengajarkan untuk saling mengingatkan dan menasihati. Maka dari itu saya mohon maaf jika keburukan itu tampak di depan saudara sekalian. MARI MENGINSPIRASI^^

@teguhleader
*artikel karya saya ini dapat anda lihat pula di daftar note di akun facebook saya: Teguh Setyawan (Al Kazim)


"TeguhRevolutioner", semangat be-revolusi untuk lebih baik dan peduli.