Indonesia, 16 Juni 2012/ 26 Rojab 1433 H
17.42 WIB
“Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu
ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
(TQS. AN-NAHL: 53)
Bismillah
Arrohmaan Arrohiim…
Siapa orang yang
tidak suka jika diberi karunia oleh Allah Ta’ala, apalagi jika nikmat itu
begitu melimpah dan membuatnya mulia tiada sandingannya. Mari kita mengingat
sejarah cerita tentang Nabiyullah Sulaiman AS yang mempunyai kerajaan yang tidak
pernah dimiliki oleh siapapun setelahnya.
“ ‘Robbi,
ampunilah aku dan anugerahkanlan kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh
seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.’ Kemudian
Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja
yang dikehendakinya.” (TQS. SHOD: 35-36)
Beliau pun menjadi
raja diraja manusia, satu-satunya manusia yang dikaruniai Allah dengan pasukan,
rakyat dari golongan manusia, jin, dan hewan. Bahkan angin pun ditundukkan
Allah untuk beliau. Dalam riwayat Wahab bin Munabih Imam Al Qurthubi
menyebutkan bahwasanya istana beliau seribu lantai tingginya dengan bagian
bawah terbuat dari besi dan bagian atas terbuat dari kaca.
Namun yang menjadi
teladan disini adalah kerendahan hati beliau Nabiyullah Sulaiman AS. Beliau
menyadari posisinya sebagai seorang hamba dari Penciptanya, meskipun kita
ketahui bersama bahwa siapa lagi yang memiliki kejayaan hal duniawi melebihi
beliau? Beliau tidak merasa bangga diri dan lantas sombong ataupun lupa diri.
“Ini termasuk
karunia Robbku untuk mencoba aku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (TQS. AN-NAML: 40)
Maha Bijaksana Allah dengan segala
Kehebatannya, selalu memberikan pelajaran kepada manusia melalui
kehidupan-kehidupan yang lalu. Jikalau kita membaca betapa besar nikmat yang
didapat oleh Nabiyullah Sulaiman AS, maka Allah juga menampilkan hambanya yang
lain. Potret berlawanan, yaitu hamba yang diberi kekayaan melimpah namun justru
bersikap sombong dengan karunia Allah tersebut.
Kita mengenalnya
bernama Qarun, dikisahkan dalam Quran:
“Qarun berkata:
‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena
ilmu yang ada padaku.”(TQS.
AL-QOSHOSH: 78)
Lihat apa yang
Qarun ucapkan dibandingkan ucapan beliau Nabi Sulaiman AS. Begitu sombongnya
Qarun ini mengaku nikmatnya melimpah karena usahanya sendiri tanpa campur tangan/ pemberian dari
Allah SWT. Memang dalam cerita, hartanya Qarun ini luar biasa banyakna.
Dikisahkan kunci gudangnya hanya bisa diangkut oleh 40 bighal (60 orang yang
kuat-kuat). Namun kekayan Qarun masih jauh dibandingkan Nabi Sulaiman AS,
sementara sikapnya justru begitu angkuh kepada Robbnya.
Saudaraku yang
kucintai, namun keadaan sekarang tak jauh berbeda.Tampaknya “Qarun-Qarun” yang
hidup di zaman sekarang justru lebih parah lagi. Bagaimana tidak, kekayaan
mereka hanya “secuil kecil” dari kekayaan si Qarun, namun ucapan dan
kesombongannya laksana Qarun, barangkali malah lebih parah lagi. “Harta ini
saya peroleh karena jerih payah dan kerja keras saya sendiri.” Entah mereka
sadari atau tidak, ucapan ini yang biasanya sering terlontar. Masyaallah…Perhatikan
firman Allah berikut:
“Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu
ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
(TQS. AN-NAHL: 53)
PERSEPSI YANG SALAH
Banyak orang
menilai jabatan, kekuasaan, kekayaan
maupun popularitas adalah indikasi kesuksesan. Padahal, hakikatnya
pemberian itu baru sebatas ujian. Dan belum menampakkan, menunjukkan hasil. Sebuah
ilustrasi misalnya antum/na adalah seorang pelajar yang disodori soal untuk
dikerjakan. Penilaian apakah akan lulus atau gagal tergantung dari bagaimana
antum/ na mengerjakan soalnya kan? Bukanlah seorang pelajar dapat diklaim telah
sukses sementara belum terbukti bagaimana ia telah menjawab soal yang diujikan.
Kita tentu akan
meng-iya kan bahwa hidup ini yang penuh corak dan warna menggiurkan mata adalah
ujian. Senang susah, kaya miskin, menjadi pejabat atau rakyat, menjadi sosok
terkenal atau terasing dari keramaian orang SEMUANYA adalah ujian ‘tantangan’
bagi kita di dunia. Dalam mindset yang
tertanam pada manusia kebanyakan adalah sepakat bahwa seseorang dianggap tengah menghadapi ujian saat ditimpa musibah
ataupun kegagalan dalam meraih tujuan masing-masing. Namun, pernahkah kita
untuk menyadari jika seseorang sedang dalam kucuran nikmat yang melimpah tiada
henti itu juga ujian baginya? Barngkali kebanyakan dari kita tak membawa
pikiran kita ke situ. Justru yang kita hadirkan adalah penyakit-penyakit hati
seperti sombong, iri, ujub, dan dengki.
Ujian kenikmatan
memang enak bin melenakan. Tapi ini bukan berarti ringan bila dilihat dari
hasil yang diinginkan. Banyak manusia yang lulus ujian kesabaran saat ditimpa
kesusahan kesulitan, namun justru ia
gagal saat diuji dengan kekayaan dan kemudahan urusan.
Abdurrahman bin
Auf mengungkapkan, “Dahulu kami diuji
bersama Rasulullah dengan kesengsaraan, maka kami (mampu) bersabar. Kemudian
setelah Nabi Shollallahu alaihi wassalam meninggal kami diuji dengan kesenangan
maka kami tak mampu bersabar.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Jika kaum sehebat
para sahabat saja “terlena” dengan ujian kesenangan. Bagaimana dengan antum?
Bagaimana dengan saya? Kita yang masih begitu lemah saat ini oleh tekanan nafsu
yang kian menggila dan menggurita di semua lini kehidupan kita.
Sahabatku semua,
di saat “kran” dunia di buka lebar-lebar, manusia berlomba-lomba uuntuk
memperebutkannya. Kita fokus mengejar dunia, lalu lupa kepada Robb-nya, Dzat
yang telah menganugerahkan rizki kepada kita. Hal inilah yang sebenarnya sudah
dikhawatirkan oleh beliau Rasulullah Muhammad SAW.
“Bukanlah
kefakiran yang aku takutkan (terjadi) atas kalian. Tetapi aku khawatir akan
dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang
sebelum kalian. Lalu kalian akan saling berlomba untuk memperebutkannya
sebagaimana mereka telah berlomba untuk memperebutkan. Hingga (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian sebagaimana ia
telah membinasakan mereka.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Lantas bagaimana
cara menghadapi ini semua?
Respon ujian
kenikmatan yang paling bijak dan tepat adalah dengan meneladani sikap seperti
yang dilakukan oleh Beliau Nabiyullah Sulaiman alaihissalam.
Pertama, mengakui bahwa segala yang
kita sandang adalah semata-mata karunia Allah. “Haadza min fadhli Robbi.”, ini
adalah karunia dari Robbku.
Kedua, menganggap ini sebagai ujian,
yakni dari sisi bagaimana seseorang mengelola karunia tersebut. “Liyabluwani an
sykur an akfur”, untuk mengujiku apakah aku termasuk hamba yang bersyukur atau
kufur.
Bismillah, sebagai
penutup. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba yang bersyukur
dan waspada. Yang menggunakan nikmat sesuai dengan kehendak Allah, aamiin.
BERDAYAKAN NIKMAT!!!^^
NIKMATI KESENANGAN, KESUSAHAN DENGAN HATI
YANG TAWADHU’ ^^
SALAM MA’RUF.
SEMANGAT DAHSYAT AKURAT BERIBADAH DI BULAN ROMADHON!!^^
“Ya
Allah, tetapkanlah kebaikan-kebaikan dalam hidup kami karena sesungguhnya
segala kebaikan hanya ada pada-Mu, dan lindungilah kami dari
keburukan-keburukan karena sesungguhnya Engkaulah Pelindung Terbaik. Aamiin.
Syukron
teruntuk Ustadz Abu Umar Abdillah atas inspirasinya yang revolusioner sekali
tentang tema note saya kali ini.
Tulisan karya saya, silahkan menyebarkan, berbagi kepada yang lain jika bermanfaat.^^
@teguhleader
TeguhRevolutioner© , Revolusikan diri ke arah lebih baik!!!
*Artikel ini dapat pula saudara muslim/ah lihat di akun Facebook
saya Teguh Setyawan (Al Kazim)