Sabtu, 16 Juni 2012

KARUNIA, NIKMAT ATAU UJIAN ?


Indonesia, 16 Juni 2012/ 26 Rojab 1433 H
17.42 WIB

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (TQS. AN-NAHL: 53)

Bismillah Arrohmaan Arrohiim…

Siapa orang yang tidak suka jika diberi karunia oleh Allah Ta’ala, apalagi jika nikmat itu begitu melimpah dan membuatnya mulia tiada sandingannya. Mari kita mengingat sejarah cerita tentang Nabiyullah Sulaiman AS yang mempunyai kerajaan yang tidak pernah dimiliki oleh siapapun setelahnya.

“ ‘Robbi, ampunilah aku dan anugerahkanlan kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.’ Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya.” (TQS. SHOD: 35-36)

Beliau pun menjadi raja diraja manusia, satu-satunya manusia yang dikaruniai Allah dengan pasukan, rakyat dari golongan manusia, jin, dan hewan. Bahkan angin pun ditundukkan Allah untuk beliau. Dalam riwayat Wahab bin Munabih Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwasanya istana beliau seribu lantai tingginya dengan bagian bawah terbuat dari besi dan bagian atas terbuat dari kaca.

Namun yang menjadi teladan disini adalah kerendahan hati beliau Nabiyullah Sulaiman AS. Beliau menyadari posisinya sebagai seorang hamba dari Penciptanya, meskipun kita ketahui bersama bahwa siapa lagi yang memiliki kejayaan hal duniawi melebihi beliau? Beliau tidak merasa bangga diri dan lantas sombong ataupun lupa diri.

“Ini termasuk karunia Robbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (TQS. AN-NAML: 40)

 Maha Bijaksana Allah dengan segala Kehebatannya, selalu memberikan pelajaran kepada manusia melalui kehidupan-kehidupan yang lalu. Jikalau kita membaca betapa besar nikmat yang didapat oleh Nabiyullah Sulaiman AS, maka Allah juga menampilkan hambanya yang lain. Potret berlawanan, yaitu hamba yang diberi kekayaan melimpah namun justru bersikap sombong dengan karunia Allah tersebut. 

Kita mengenalnya bernama Qarun, dikisahkan dalam Quran:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.(TQS. AL-QOSHOSH: 78)

Lihat apa yang Qarun ucapkan dibandingkan ucapan beliau Nabi Sulaiman AS. Begitu sombongnya Qarun ini mengaku nikmatnya melimpah karena usahanya  sendiri tanpa campur tangan/ pemberian dari Allah SWT. Memang dalam cerita, hartanya Qarun ini luar biasa banyakna. Dikisahkan kunci gudangnya hanya bisa diangkut oleh 40 bighal (60 orang yang kuat-kuat). Namun kekayan Qarun masih jauh dibandingkan Nabi Sulaiman AS, sementara sikapnya justru begitu angkuh kepada Robbnya.

Saudaraku yang kucintai, namun keadaan sekarang tak jauh berbeda.Tampaknya “Qarun-Qarun” yang hidup di zaman sekarang justru lebih parah lagi. Bagaimana tidak, kekayaan mereka hanya “secuil kecil” dari kekayaan si Qarun, namun ucapan dan kesombongannya laksana Qarun, barangkali malah lebih parah lagi. “Harta ini saya peroleh karena jerih payah dan kerja keras saya sendiri.” Entah mereka sadari atau tidak, ucapan ini yang biasanya sering terlontar. Masyaallah…Perhatikan firman Allah berikut:

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (TQS. AN-NAHL: 53)

PERSEPSI YANG SALAH

Banyak orang menilai jabatan, kekuasaan, kekayaan maupun popularitas adalah indikasi kesuksesan. Padahal, hakikatnya pemberian itu baru sebatas ujian. Dan belum menampakkan, menunjukkan hasil. Sebuah ilustrasi misalnya antum/na adalah seorang pelajar yang disodori soal untuk dikerjakan. Penilaian apakah akan lulus atau gagal tergantung dari bagaimana antum/ na mengerjakan soalnya kan? Bukanlah seorang pelajar dapat diklaim telah sukses sementara belum terbukti bagaimana ia telah menjawab soal yang diujikan.

Kita tentu akan meng-iya kan bahwa hidup ini yang penuh corak dan warna menggiurkan mata adalah ujian. Senang susah, kaya miskin, menjadi pejabat atau rakyat, menjadi sosok terkenal atau terasing dari keramaian orang SEMUANYA adalah ujian ‘tantangan’ bagi kita di dunia. Dalam mindset yang tertanam pada manusia kebanyakan adalah sepakat bahwa seseorang dianggap  tengah menghadapi ujian saat ditimpa musibah ataupun kegagalan dalam meraih tujuan masing-masing. Namun, pernahkah kita untuk menyadari jika seseorang sedang dalam kucuran nikmat yang melimpah tiada henti itu juga ujian baginya? Barngkali kebanyakan dari kita tak membawa pikiran kita ke situ. Justru yang kita hadirkan adalah penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, ujub, dan dengki.  

Ujian kenikmatan memang enak bin melenakan. Tapi ini bukan berarti ringan bila dilihat dari hasil yang diinginkan. Banyak manusia yang lulus ujian kesabaran saat ditimpa kesusahan kesulitan, namun justru ia gagal saat diuji dengan kekayaan dan kemudahan urusan.

Abdurrahman bin Auf mengungkapkan, “Dahulu kami diuji bersama Rasulullah dengan kesengsaraan, maka kami (mampu) bersabar. Kemudian setelah Nabi Shollallahu alaihi wassalam meninggal kami diuji dengan kesenangan maka kami tak mampu bersabar.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Jika kaum sehebat para sahabat saja “terlena” dengan ujian kesenangan. Bagaimana dengan antum? Bagaimana dengan saya? Kita yang masih begitu lemah saat ini oleh tekanan nafsu yang kian menggila dan menggurita di semua lini kehidupan kita.

Sahabatku semua, di saat “kran” dunia di buka lebar-lebar, manusia berlomba-lomba uuntuk memperebutkannya. Kita fokus mengejar dunia, lalu lupa kepada Robb-nya, Dzat yang telah menganugerahkan rizki kepada kita. Hal inilah yang sebenarnya sudah dikhawatirkan oleh beliau Rasulullah Muhammad SAW.

“Bukanlah kefakiran yang aku takutkan (terjadi) atas kalian. Tetapi aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Lalu kalian akan saling berlomba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka telah berlomba untuk memperebutkan. Hingga (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Lantas bagaimana cara menghadapi ini semua?

Respon ujian kenikmatan yang paling bijak dan tepat adalah dengan meneladani sikap seperti yang dilakukan oleh Beliau Nabiyullah Sulaiman alaihissalam.
Pertama, mengakui bahwa segala yang kita sandang adalah semata-mata karunia Allah. “Haadza min fadhli Robbi.”, ini adalah karunia dari Robbku.
Kedua, menganggap ini sebagai ujian, yakni dari sisi bagaimana seseorang mengelola karunia tersebut. “Liyabluwani an sykur an akfur”, untuk mengujiku apakah aku termasuk hamba yang bersyukur atau kufur.

Bismillah, sebagai penutup. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba yang bersyukur dan waspada. Yang menggunakan nikmat sesuai dengan kehendak Allah, aamiin.

BERDAYAKAN NIKMAT!!!^^

NIKMATI KESENANGAN, KESUSAHAN DENGAN HATI YANG TAWADHU’ ^^

SALAM MA’RUF. SEMANGAT DAHSYAT AKURAT BERIBADAH DI BULAN ROMADHON!!^^

“Ya Allah, tetapkanlah kebaikan-kebaikan dalam hidup kami karena sesungguhnya segala kebaikan hanya ada pada-Mu, dan lindungilah kami dari keburukan-keburukan karena sesungguhnya Engkaulah Pelindung Terbaik. Aamiin.
Syukron teruntuk Ustadz Abu Umar Abdillah atas inspirasinya yang revolusioner sekali tentang tema note saya kali ini.

Tulisan karya saya, silahkan menyebarkan, berbagi  kepada yang lain jika bermanfaat.^^

@teguhleader
TeguhRevolutioner© , Revolusikan diri ke arah lebih baik!!!

*Artikel ini dapat pula saudara muslim/ah lihat di akun Facebook saya Teguh Setyawan (Al Kazim)