Rabu, 03 Agustus 2011

MUSIBAH, UJIAN ATAUKAH AZAB ?


Musibah yang berupa kesusahan, kesialan, kegelisahan memang sebuah fitrah yang akan kita alami karena ketidaksempurnaan kita sebagai makhluk. Namun “dunia ini adalah sebab akibat”, tak ada musibah tanpa alasan mengapa musibah itu timbul. Kita sebagai manusia tak kan bisa lari dari segala perbuatan kita, kesimpulan simpelnya adalah perbuatan baik akan dihadapkan kebaikan, perbuatan buruk akan ditampilkan keburukan.

“Mereka akan diikuti oleh kejahatan yang mereka lakukan. Orang-orang zalim di antara mereka akan ditimpa balasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan mereka tidak dapat melepaskan diri.”    [TQS.AZ ZUMAR(39):51]

Dari terjemah ayat ke-51 Az Zumar diatas terbukti sangat mendukung kesimpulan kita di awal tadi. Bahwa, Allah Maharahman tak akan menganiaya seseorang melainkan karena perbuatannyalah yang menyebabkan hadirnya hukuman. Tak ada kesusahan kecuali kita sendiri yang kerap berulah menyusahkan. Namun kerap kali kita tak pernah menyadari, malah mencari sebab kesusahan dari luar diri kita.

Saya ingin mengibaratkan drama tindakan buruk kita dengan drama sewaktu kita dikejar anjing. Ibarat kita mengganggu anjing, tak ayal kita akan dikejar  tiada henti. Dan kemungkinan hanya dua, pertama kita terkejar ataupun anjing itu sendiri yang akan berhenti mengejar. Begitu pula dengan perbuatan dosa kita. Ia akan selalu mengejar kemanapun kita berlari. Seperti di awal tadi, pengejaran ini dapat berupa kegelisahan, kesialan –hilang berkah— atau kesusahan sampai kemudian kematian mengistirahatkan sejenak pengejaran dosa.

Dalam suatu kajian, saya pernah tersentak dengan ucapan ustadz saya, “Jika kalian dikejar oleh anjing, apa yang akan kalian lakukan sebagai usaha penyelamatan diri? Apakah kalian akan terus berlari?” kami terdiam. Beliau meneruskan, “ Tindakan bijak nan cerdas adalah kita memanggil sang pemilik anjing agar anjingnya berhenti mengejar kita.” Saudaraku, seperti itulah jika kita dikejar akibat perbuatan buruk kita, segeralah kita mendekati —cari perhatian—kepada Yang Maha Kuasa. Dengan jalan apa? Yaitu dengan jalan pertobatan dan menghentikan kemaksiatan serta keburukan perbuatan kita.

Sebenarnya Allah sering menunjukkan tanda dan peringatan –baik peringatan berupa musibah ataupun kebaikan—agar kita ingat akan kerinduan dan rahmat-Nya kembali. Namun, seperti biasa –kita makhluk pelupa—tak sadar dan tak paham akan hadirnya tanda-tanda itu. Walhasil, kejadian kehidupan tetaplah kejadian yang berlalu begitu saja, berlalu biasa saja tanpa pemaknaan maksud “tersembunyi” dari Tuhan.

“Dan tiadalah datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda Tuhannya, melainkan mereka berpaling daripadanya.” [TQS YASIN(36);46]

Sekedar berbagi cerita, dulu semasih “dangkal” ilmu dan jiwa saya –sekarang pun masih—, saya juga sering “diingatkan” Allah kalu saya salah, namun dasar darah muda yang memang bandel, saya sering hirau tanda-tanda Tuhan tersebut, dan justru menyalahkan keadaan dan menenangkan diri dengan menganggap musibah yang menimpa adalah sebuah “ujian”-Nya. Tak ayal, remedial ujian dari Tuhan pun berlangsung berulang-ulang hingga akhirnya baru menyadarkan saya, Tuhan memang bijak dan Maha Penyayang, tau yang terbaik untuk saya.

Sahabat, itulah kita, manusia. Banyak –mungkin—yang pernah menjalani hidup seperti kisah saya diatas. Ketika menghadapi masalah, dengan begitu yakin kita mengatakan sedang diuji Allah. Hal ini sering berlaku di hampir setiap keadaan. Misalnya, ketika kehilangan barang, uang, orang yang dicinta, sakit, dan masih banyak lagi. Namun, pernahkah kita berpikir lebih jauh dari sekedar menganggapnya ujian, yaitu jangan-jangan ia azab? Karena, bisa saja kan yang kita hadapi adalah azab-Nya, bukan ujian.
Dalam ceramah-ceramah yang sering kita dengar adalah “Ujian dari Allah sebenarnya adalah untuk menguji tingkat keimanan kita”. Benar, namun begini sahabatku sekalian, jika seseorang sudah diketahui dia adalah pembangkang, pendosa, tentu tak perlu diukur kadar keimanannya. Sebab sudah amat jelas pendosa, ia tinggal dihukum saja. Begitulah kira-kira maksud tersembunyi dari pernyataan tersebut.

Dan demikianlah. Di antara penyebab musibah yang menimpa adalah tidak laginya kita mengindahkan peraturan Allah. Hati yang berkarat –penuh dosa dan maksiat—sangatlah mudah untuk didatangi musibah dan semakin memperkeruh suasana batin karena kita selalu mencari sebab kesusahan dari luar diri kita. Jadi, ketika kita merasa susah, sedangkan kita tahu bahwa diri kita memang penuh dosa dan maksiat, seharusnya saat itu juga kita sudah tahu nuansa musibah yang kita hadapi bukanlah ujian, melainkan azab.
Namun sayang, kita adalah manusia yang sulit untuk sadar. Perlu waktu khusus untuk bermuhasabah (atau dimuhasabahi?). Bertolak dari ini semua, di bulan Ramadhan ini saya mengajak diri saya terutama dan sahabat sekalian. Mulailah memuhasabahkan diri kita sendiri dulu, mungkin sekian lama kita rajin ‘memuhasabahkan’ orang lain untuk suatu keadaan tidak enak yang sedang kita alami. Mudah-mudahan dengan jalan memuhasabahkan diri, kita menemukan jalan tobat yang dapat mengantarkan kita kepada keadaan yang dirahmati Allah. Aamiin.

SIAP???

Robb…Karena ketidaktahuan kami, setiap kesulitan kami anggap sebagai ujian-Mu. Padahal kesulitan itu kami tahu akibat perbuatan buruk kami.Robb… Engkau Maha Pengampun. Apa pun kesalahan kami, Engkau mempunyai ampunan yang lebih besar dari marah-Mu dan Engkau memiliki kebijaksanaan yang tiada batasnya dalam melihat kesalahan kami. Ampuni hamba Ya Robb, berilah kami kekuatan untuk dapat menghargai sisa kehidupan yang akan kami jalani agar kehidupan masa datang terhiasi pelangi. Aamiin.



*Terkadang saya malu untuk menyampaikan risalah-risalah ini semua karena diri saya yang masih banyak kurang, salah dan belum bisa sempurna melaksanakan kebaikan. Maka dari itu saya mohon maaf jika keburukan itu tampak di depan saudara sekalian. 

*artikel karya saya ASLI
=Syukron Ustadz “Luqman” atas kajian rutinnya, barokallah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar