Kamis, 25 Agustus 2011

SEBUAH PESAN DARI SANG AIR


Merendahlah seperti bintang, nampak bagi setiap yang memandang
Di atas permukaan air, padahal ia jauh tinggi di awang-awang
Dan jangan seperti asap, meninggikan dirinya
Menuju langit, padahal dirinya hina
(syair arab)

Berkebun adalah sebuah kegiatan yang menurut saya sarat dengan seni dan filosofi kehidupan. Meskipun saya seorang lelaki, berkebun menjadi aktifitas sampingan saya kala senggang dan menurut saya dapat menghilangkan ke-“galau”-an (haha…galau lagi…galau lagi…), seperti sebuah nilai filosofis yang saya “tangkap” ketika membonsai tanaman kamboja jepang milik ibu saya. Sebuah pembelajaran tentang tawadhu’ atau kita kenal dengan rendah hati. Filosofis ini adalah perenungan saya, sangat dimungkinkan jika saudara sekalian menemukan makna lain di dalamnya.

Sahabat rahimahullah, jika kita perhatikan air untuk menyiram bunga, pernahkah kita berpikir, “Bagaimana bisa air kusiram di tanah kok naik ke batang daun dan menghidupi tumbuhan tersebut ya?”, mungkin pertanyaan itu pernah lewat di pikiran kita sewaktu kita masih kecil (seumuran enam tahun-lah), seiring tingginya jenjang pendidikan yang kita tempuh, akhirnya kita tahu bahwa ada semacam sistem transportasi pada kehidupan tumbuhan. Pemahaman SD air tadi dibawa oleh akar, semakin ke SMP kita tahu ada jaringan xylem si tukang pengangkut air, dan SMA kita mengenal detil peristiwa dan organ apa saja yang terkait dalam sistem pengangkutan tersebut.

Subhanallah, Allah al Hakim selalu mencipta semua di dunia dengan teliti dan penuh pembelajaran dan manfaat (jika kita mau mencarinya).Dari air kita dapat belajar tentang rendah hati, lihatlah air tersebut dari berbagai sumber. Dari sumber yang hina ataupun yang indah. Mereka rela dan tak mengeluh karena Allah untuk “memulai dari bawah” kita siramkan di tanah yang kotor dan hitam bercampur kotoran, tetap tawadhu’. “Lantas apa balasan Allah baginya?”, balasan Allah baginya adalah KEMULIAAN. Kemuliaan akhirnya didapat, dari sifat endah hati tadi dia diangkat dan terus diangkat untuk mengisi batang, daun, buah yang kesemuanya itu nanti dimanfaatkan oleh manusia. Sungguh saya yakin, andai air dapat berbicara tentu mereka akan mengatakan sangat senang dan bangga jika dapat bermanfaat bagi manusia dalam bentuk yang indah.

“Dan tidaklah seseorang itu bersikap tawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.”(al hadis)

Tawadhu’ pada hakikatnya adalah mengerahkan rasa hormat, kelembutan, dan penghargaan kepada orang yang berhak mendapatkannya(dalam Rasa’il Al-Ishlah[1/127]). Ingin saya nukilkan sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a, semoga dapat menjadi motivasi pengingat kita akan pentingnya tawadhu dan suka memberi maaf.

“ Allah tidak menambahkan nikmat atas pemberian maaf dari seorang hamba melainkan dengan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.”(HR Muslim)

Allahu akbar, dari hadis di atas sebenarnya ada beberapa “balasan” yang positif dari Allah kepada kita yang tawadhu’. Pertama, Allah akan memberikan kemuliaan kepada seseorang yang pemaaf. Sebuah kemuliaan di hati orang lain dan di hadapan Allah. Kedua, Allah akan mengangkat derajat seseorang di dunia dalam bentuk apa saja sekehendak Allah serta menetapkan dengan tawadhu’-nya itu satu kedudukan atau tempat khusus-lah di hati orang lain. Lalu Allah akan mengangkat martabat dan meninggikan derajat kita di mata orang lain. Wah, enak juga ya dengan tawadhu kita sudah mendapatkan kedudukan terindah di hadapan orang lain, tak hanya itu bahkan di hadapan Allah juga. Berarti memang langkah yang kurang bijak jika kita ingin mendapatkan kedudukan, pengakuan(bahasa saya “eksistensi”, hehe)  dari orang lain dengan cara yang salah dan cenderung zalim dan berlebihan bahkan aneh, lebai dan alay (tentu masing-masing dari anda sudah tau kan yang saya maksud).

Sungguh dahsyat hasilnya jika kita mengamalkan satu sunnah rasul diatas. Bagaimana jika kita mengamalkan semuanya ya? Pasti semakin bagus kita(peribahasa saya,”Akhirat katut, donya kanut”[akhirat dapet dunia ikut]).Hehe. Namun yang saya tekankan di akhir note saya kali ini adalah perlunya kewaspadaan kita tentang suatu batasan agar kita tidak tergolong hamba yang zalim, berlebihan dan berakhir merugi.Ibnu Al Quddamah mengatakan,”Ketahuilah! Sifat ini(tawadhu’)-seperti sifat yang lain pula- mempunyai dua sisi dan satu pertengahan. Sisi yang condong kepada sikap berlebihan dinamakan keangkuhan dan sisi yang lebih condong kepada kekurangan disebut kerendahan dan kehinaan, sedangkan yang pertengahan disebut sebagai sifat yang tawadhu’, yaitu bersikap merendah tanpa menghinakan diri.” Nah, dari sedikit uraian ini hendaknya dari sekarang kita harus bijak, rendah hati namun jangan rendah diri. Berbangga hati namun untuk diri sendiri dan Allah, bukan untuk dipamerkan kepada orang lain(dipamerkan tak hanya diperlihatkan, namun juga diucapkan dan diperdengarkan).

SIAP BERTAWADHU’???

JANGAN LAMA-LAMA MENUNGGU, MARI SEGERA KITA MULAI.
GAPAI KEMULIAAN DIRI, CINTA INSANI DAN ILAHI^^

SALAM MA’RUF!!!^^
SALAM KEBAIKAN. MARI SALING MENGINSPIRASI!!!^^

MARI BERDAYAKAN HATI KITA!!!^^

Sebuah syair penutup,

Engkau merendah dengan tawadhu‘ dan meningkat tinggi dengan kemuliaan
Urusanmu hanya dua, merendah dan meningkat
Laksana mentari, semakin jauh meninggi
Tapi sinarnya semakin dekat menyengat




Mohon maaf bila ada kesalahan dalam sikap keseharian penulis yang masih Saudara jumpai, mari saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebaikan.^^

*artikel karya saya ASLI, dengan penambahan berbagi sumber
 @teguhleader

"TeguhRevolutioner", semangat berevolusi untuk lebih baik dan peduli.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar